Random Thoughts: Tentang Kehilangan

Credit; Quote Ambition



Bulan Februari ini menjadi bulan yang cukup berat buat saya. 

Ha, 2018 baru berjalan sampai Februari, tapi beban hidup rasanya sudah banyak saja. Puji Tuhan. 

Dan tak terasa, saya sudah satu tahun hidup merantau di Solo, mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan impian dan passion saya di sini. Satu tahun sudah. How time flies so fast ya. 

Meski baru satu tahun di sini, sudah banyak sekali cerita dan kenangan yang saya alami di sini. Mulai dari yang menyenangkan sampai menyebalkan. Menyedihkan sampai menyakitkan. Saya rasa semuanya sudah saya rasakan di sini.

Drama politik kantor dan pertemanannya di sini pun juga sudah saya rasakan. Menemukan sosok baru yang mengisi hati saya pun Puji Tuhan juga sudah. 

Namun, dua hal yang sebenarnya saya tidak suka dari perjalanan hidup saya yang tahun ini menginjak usia 25 tahun. 

Saya tidak suka perpisahan. Saya tidak suka kehilangan. Bahkan saya membenci hal itu. Dua hal itu musuh terbesar saya. 

Tapi, sebagai manusia yang bukan pengatur semesta, saya harus memahami dan menerima bahwa dua hal itu adalah hal yang memang harus saya alami, lewati, lalui, rasakan, nikmati. 

Beberapa perpisahan dan kehilangan yang terjadi di Solo ini, membuat saya mengingat kembali perpisahan dan kehilangan terbesar dan terberat yang pernah saya alami selama hidup saya ini.




Perpisahan dan kehilangan pertama saya adalah, kepergian sosok ayah saya selama-lamanya. 




30 Oktober 2007 menjadi hari terburuk sepanjang hidup saya dan kalau boleh meminta, saya ingin skip tanggal tersebut, supaya ayah saya masih ada di sisi saya sampai sekarang.

Kepergian ayah saya adalah kehilangan yang amat sangat menghancurkan hati saya. Saya patah hati, kacau, nggak menyangka, nggak siap, nggak kuat, dan hal-hal sedih lainnya yang kalian bisa ungkapkan mungkin saya rasakan semua saat itu.

Terlebih lagi, setelah kepergiannya, kehidupan saya berubah drastis, bahkan saya trauma dengan rokok. 

Karena, buat saya rokok adalah penyebab kepergian ayah, bahkan sampai detik ini saya akan selalu menyalahkan rokok dan sangat membenci benda itu. 

Itu trauma yang teramat sangat besar yang pernah saya rasakan. 

Di tahun pertama hingga ketiga kepergiannya ayah, saya sama sekali nggak bisa lihat rokok. Saya bakal uring-uringan dan marah besar kalau melihat rokok di depan mata saya.

Saya akan meracau, membentak, dan memarahi siapapun yang merokok di depan saya. Bahkan bakal bisa  kayak orang kesetanan kalau melihat rokok. 

Ya, saya pernah sangat berlebihan seperti itu karena trauma saya. Karena rasa sakit saya kehilangan ayah. Karena rasa benci saya yang luar biasa pada rokok. 

Namun, saya menyadari bahwa rokok adalah bagian dalam hidup yang nggak bisa hilang begitu saja.

Banyak orang yang merokok termasuk teman-teman saya dan jelas saya nggak bisa menerapkan trauma saya kepada mereka.

Saya harus memahami mereka dan perlahan menanggalkan trauma saya untuk kehidupan saya yang lebih baik.

Toh, nggak ada manfaat dan lelah juga hidup bersama trauma yang mencengkeram diri ini. Pelan-pelan saya menerima adanya rokok di kehidupan saya sehari-hari.

Kehilangan ayah adalah hal terhancur dan tersakit yang pernah saya rasakan. Ayah saya adalah sosok segalanya bagi saya.

Beliau yang mendidik saya hingga menjadi Bulan yang seperti ini.

Karena beliau, saya mencintai dunia fotografi, traveling, menulis, basket, dan kuliner. Beliau adalah sosok pendukung utama apapun yang saya lakukan.

Beliau selalu mendukung apapun yang saya suka, apapun yang saya inginkan selama itu positif.

Beliau yang nggak pernah marah anak bungsunya sibuk dengan dunianya sendiri sampai terkadang lupa waktu.

Beliau yang membuat saya percaya akan pernyataan 'distances means nothing when someone means everything'.

Beliau yang selalu siap memberikan istri dan anak-anaknya yang terbaik meski beliau harus berkorban sekeras mungkin hanya untuk kebahagiaan kami.

Beliau yang membuat saya belajar dan percaya bahwa hubungan jarak jauh bukanlah hal yang menyeramkan, bukanlah hal yang mustahil dilakukan dan dijalani.

Bagaimana tidak, ayah pekerja lapangan yang selalu kerja di luar kota bahkan luar negeri dan pulang ke rumah paling sebulan sekali atau dua kali saja dan beliau tetap berhasil membangun keluarga yang luar biasa ini.

Ayah saya itu luar biasa sekali. Karenanya, saya belajar banyak sekali hal yang membentuk saya seperti sekarang ini.

Nggak heran kan, mengapa beliau sangat, sangat, sangaaaaat berarti bagi saya?

Nggak heran kan, mengapa hati saya sangat hancur hingga berkeping-keping saat kehilangan beliau? :)

Perpisahan dan kehilangan saya yang kedua adalah, ditinggal merantau sahabat terbaik saya




Perkenalkan, Azkar Rizal Muhammad adalah sahabat terbaik yang pernah saya miliki. 

Kenal di kampus tahun 2012, nggak menyangka sampai sekarang dia kini menjadi salah satu sosok yang penting di kehidupan saya.

Saya sangat bersyukur dengan hadirnya Azkar atau yang biasa saya panggil Acal ini dan menjadi sahabat saya.

Nggak ngerti lagi, mengapa dia bisa menjadi sosok yang betah berada di sisi saya, mengapa dia bisa menjadi sosok yang amat sangat mengerti saya yang complicated ini, mengapa dia bisa selalu bisa memahami apapun kondisi saya. 

Saya sadar, saya ini orang yang menyebalkan apalagi kalau mood-nya berantakan. Bahkan sampai sekarang saya tidak bisa memahami diri saya sendiri kok. 

Tapi Acal bisa dan mau mengerti saya. Bahkan dia tidak memilih untuk meninggalkan saya, dia malah siap untuk selalu ada bagi saya.

Acal yang selalu siap mendengarkan segala keluh kesah saya, dia yang selalu menerima dari sisi terbaik hingga titik terendah saya.

Dia yang tahu segala seluk beluk kehidupan saya, dia yang tahu tipe cowok seperti apa yang saya sukai, dia yang tahu cowok-cowok yang datang dan pergi di kehidupan saya, dia yang tahu bagaimana cara menghibur di saat mood berantakan saya kumat. Dia yang tahu cara menghadapi saya saat badmood, marah, dan kacau.

Dia selalu ingat ulang tahun saya dan selalu memberikan ucapan dan kado terbaik yang pernah bisa saya dapatkan.

Dia yang selalu memberikan solusi terbaik di setiap masalah saya. Dia yang selalu menyiapkan kuping untuk mendengarkan setiap cerita saya. Saya bisa bercerita apapun dengannya.

Dia yang selalu menyiapkan bahunya untuk saya menangis dan membutuhkan sandaran. Dia yang selalu ada setiap kali saya membutuhkannya.

Dia yang tahu apapun masalah yang saya hadapi, dia yang selalu ke rumah sekadar main dan menjenguk Mama saya. Dia yang selalu mengajak saya pergi ke mana pun arah motor pergi di saat kita sama-sama bosan. 

Dia yang selalu ada di segala kondisi saya. Dia yang nggak mempermasalahkan kejelekan dan keburukan sikap saya. Dan sampai nggak bisa lagi saya mendeskripsikan kebaikan Acal untuk saya.

Seperti pacar saya ya? Tapi enggak, kami nggak ada pikiran sampai di situ. Kami sama-sama punya prinsip yang sama sehingga kami lebih memilih untuk bersahabat sampai sekarang.

Lagipula, kami tidak mau merusak esensi persahabatan jika kami melanjutkannya menjadi hubungan yang lebih.

Sudah banyak yang mengira kami pacaran, tapi saya dan Acal tidak mau kehilangan sahabat jika suatu saat kami gagal mempertahankan hubungan kami. Maka bersahabat adalah pilihan yang tepat dan kami berhasil mempertahankannya hingga kini.

Sudah jelas saya menyayangi Acal. Saya menyayanginya sebagai sahabat dan tidak ada sedikit pun terbesit di pikiran saya keinginan untuk memiliki Acal sepenuhnya. Toh, Acal juga sudah punya pacar yang sangat dia sayangi.

Hingga di umur persahabatan menginjak 5 tahun, Acal memberi kabar yang cukup bikin saya terpukul, dia bercerita kalau mendapat pekerjaan di Bogor, yang artinya ia bakal meninggalkan Semarang dan saya. 

Saat itu saya langsung kacau, saya galau bakal ditinggal Acal, saya bingung karena saya tahu bakal kehilangan sosok yang paling saya butuhkan. Saya sedih bakal susah ketemu dia, saya nggak siap ditinggal Acal. 

Namun, kembali, saya harus menerima kepergian Acal apalagi itu untuk masa depannya. Siapalah saya ini sampai melarang dia pergi. Berat sekali saya mengikhlaskan kepergiannya merantau dan dia pun menyadari hal itu.

Bahkan saya ingat sekali saat melepaskan kepergiannya dan mengantarkan dia ke PO Bus serta memberikan kenang-kenangan untuknya.

Saya ingat sekali senyuman Acal saat itu, pesan-pesan dia yang bakal ninggalin saya, dan pelukan pertama kita setelah 5 tahun bersahabat saat dia hendak naik bus, serta tangisan kita berdua yang pecah saat kita saling berpelukan. Saat itu, saya baru menyadari saya sesayang itu dengan Acal.


Saat pisahan pun dia masih mendoakan saya keterima di pekerjaan saya yang sekarang ini. :')

Saya ingat kata-kata dia tentang persahabatan kami. Acal sadar saya sayang dengan dia, Acal sadar bahwa saya adalah orang yang bisa melakukan dan memberikan apa saja untuk orang yang saya sayangi, dan menanyakan hal seperti ini saat kita berbincang.

A: Lu sama sahabat aja kayak gini passionate-nya, Bul. Gue nggak bisa membayangkan kalo suatu saat nanti lu punya pacar. Sesayang apa lu sama orang itu ya? 

Saat itu saya hanya terkekeh menjawabnya. Karena ya beginilah saya, di saat saya sudah sayang sama orang, selamanya orang itu mempunyai arti yang besar bagi saya. Di saat saya sudah sayang sama orang, saya akan memberikan semua yang terbaik dari saya, semaksimal itu. Buat saya, kebahagiaan orang yang saya sayang adalah hal  yang terpenting bagi saya.

Dan saya juga ingat kelakar Acal di saat saya menemani dia membeli bunga untuk dihadiahkan ke pacarnya karena saat itu mereka lagi berantem.

A: Begini amat ya dunia berpacaran, banyak lika-likunya. Siapa tahu suatu saat gue malah sama elu, Bul? 

B: Apaan sih lu?

A: Eh, siapa tahu kan? Hidup itu banyak kejutan.

B: Serah lu, tu bunganya, langsung baikan gih

Ah, banyak ceritalah kalau membahas Acal ini. Yang jelas, saya amat sangat bersyukur memiliki Acal di kehidupan saya. 

Sampai sekarang, saya masih terus berhubungan dengannya, sekadar berbagi cerita dan kabar, kami masih menjalin hubungan dengan amat sangat baik meski terpisah jarak.

Sampai sekarang kami masih berbagi cerita pribadi kami masing-masing. Masih bertemu jika ada kesempatan. Kesedihan dan ketakutan saya saat merasa kehilangan itu sirna karena kami masih sama-sama saling menjaga silaturahmi kami.



Bahkan, saat Acal di Semarang dan saya belum pulang, dia tetap ke rumah sekadar menjenguk Mama saya yang tinggal sendirian di rumah. 

Acal sudah mengenal keluarga saya, sudah akrab dengan Mama saya. Begitu juga saya yang sudah mengenal orangtuanya Azkar. Mamanya bahkan menunggu saya main ke rumahnya di Tangerang. Suatu saat saya akan menepati permintaannya itu.

Sementara Papanya Azkar sudah apal dengan wajah saya saat berkunjung ke rumahnya dan mempersilakan saya seperti saya berada di rumah sendiri.

Meski begitu, saya dan Acal juga pernah bertengkar hebat. Namun, kembali lagi, kami menyadari persahabatan kami lebih berarti daripada ego dan amarah kami. Maka dari itu, kami tidak membiarkannya merusak persahabatan kami. Puji Tuhan, selesai dengan baik dan semakin menjaga hubungan kami.

Sekali lagi, Acal sahabat terbaik yang pernah saya punya. Kini usia persahabatan kami sudah menginjak tahun ke-enam, semoga kami bisa menjaga hubungan ini sampai selamanya.

Cal, gue sayang banget sama elo dah! Hahaha.

Perpisahan dan kehilangan saya yang ketiga adalah, ditinggal rekan kerja mengejar mimpinya




Maya Nirmala Lalita Tyas adalah satu dari beberapa rekan kerja terdekat saya. Rekan satu angkatan dan perjuangan merintis branding pekerjaan kami, rekan satu kosan, rekan kebodohan dan kerecehan.

Dia juga satu sosok yang paling bisa memahami saya dan mood swing saya yang kadang parah. Dia nggak pernah marah saat saya ngambekin atau ngebetein dia.

Dia yang nggak pernah kesal saat saya mulai mengomel dan mengkritik kebiasaan buruknya. Dia yang juga selalu berusaha membuat saya senang dan menuruti keinginan saya.

Dia teman mengobrol saya di kamar kosannya hingga subuh, terkadang nggak peduli saat kita sama-sama shift pagi. Kalau sudah asyik dengan perbincangan kami, kami bisa ngobrol sampai ketiduran.

Dia salah satu sosok yang paling saya percaya di Solo, dia tahu semua keluh kesah saya tentang kantor. Dia tahu apa yang saya suka dan yang tidak saya suka.

Dia salah satu sahabat terbaik saya di kantor dan jelas saya amat sangat kaget dengan pengakuan dia yang mau resign karena ingin melanjutkan S2.

Dia rekan kerja yang sama-sama menyukai anjing dan makanan melebihi apapun.

Dia rekan kerja yang menemani saya liputan pensi di Semarang, dan rekan yang saya ajak dan mempersilakan dia mewawancarai Tulus, idola sepanjang masa saya. Saat wawancara Maya yang lebih banyak memberi pertanyaan dibandingkan saya. Saya memberi dia kesempatan itu, entah kenapa.

Saya ingat, dia minta maaf kepada saya karena dia telah menyimpan rencana S2-nya dari saya. Dia sadar saya sudah mencurigai gerak-geriknya, namun ia tidak mau menceritakan hal itu kepada saya di waktu yang menurutnya tidak tepat.

Saya ingat, saat itu saya hanya terdiam mendengar penjelasannya. Dan hati saya berkata lirih, 'Ya Tuhan, saya harus merasakan kehilangan lagikah?

Rasa sedihnya sama saat saya kehilangan dan berpisah dengan Acal. Which is itu tandanya Maya sama berartinya kayak Acal bagi saya.

Saya menghela napas panjang dan kembali belajar menerima kehilangan orang terdekat saya.

Saya ingat, beberapa hari sebelum dia keluar, saya meminta waktunya satu hari untuk kita nikmati bersama. Kami seharian menghabiskan waktu, mulai dari berdoa bersama di Gua Maria Mojosongo, makan segala makanan yang ingin kita makan, foto box untuk kenang-kenangan kita, dan berakhir ngobrol di balkon kosan sampai pagi. Saat itu saya bahagia sekaligus sedih. Saya tahu, saya nggak akan bisa melakukan hal yang sama lagi seperti ini ke depannya.

Saya ingat di hari-hari terakhirnya, saya meminta teman-teman yang lain untuk membuat perpisahan lebih awal dari tanggal dia keluar kantor. Karena saat itu saya harus pergi ke Bandung hingga akhir bulan, hingga tanggal dia sudah tidak bekerja dengan saya lagi.

Saya ingat, kami satu tim makan bersama untuk merayakan perpisahan kami dengan Maya, saya di sana banyak diam karena saya sadar, setelah ini saya tidak akan bertemu dia lagi. Saat saya pulang dari Bandung, saya sadar Maya sudah tidak ada di Solo lagi dan saya harus siap akan hal itu.

Saya ingat ketika kami sudah selesai makan, saya sengaja meminta Maya untuk mengantarkan saya ke terminal bus. Saya tahu saat itu akan menjadi pertemuan terakhir saya dengannya.

Saya ingat sebelum saya mendapatkan bus untuk pulang ke Semarang sebelum ke Bandung itu saya memberikannya kenang-kenangan untuknya, kemudian saya memeluknya kencang dan tangis kami berdua pecah bersamaan.

Saya ingat saya meminta maaf dan berterima kasih untuk segala sesuatu yang sudah kami hadapi bersama selama 9 bulan dan kemudian meninggalkannya masuk ke dalam bus dan melihatnya untuk terakhir kali di malam itu.

Dan iya, waktu saya pulang dari Bandung dan tiba di kosan, saya sudah melihat kamar kosan Maya sudah kosong. Saya tersenyum getir saat itu.

Tapi, sama seperti Acal, saya dan Maya berusaha masih memberikan kabar masing-masing dan bercerita melalui pesan singkat.

Dan ini sedikit cuplikan obrolan random kami hari ini setelah sekian lama nggak ngobrol. Ternyata kami sama-sama kangennya.











Setelah kehilangan Maya, saya merasakan beberapa kehilangan lagi namun tidak seberat dan tidak seberarti tiga orang di atas ini.

Setelah kehilangan Maya, saya sempat down dan tenggelam dalam pikiran saya sendiri. Saya sempat berpikir, mengapa di saat saya menyayangi orang sungguh-sungguh, mereka pergi begitu cepat? Mengapa saya tidak bisa lama bersama dengan orang yang saya sayangi?

Mengapa saya harus dipertemukan dengan mereka kalau akhirnya kita berpisah? Mengapa saya harus menyayangi mereka di saat saya tahu tidak ada yang abadi di dunia ini?

Mengapa saya selalu dijauhkan dengan mereka yang berarti bagi saya? Mengapa?

Sempat berpikir juga, apa seorang Bulan nggak pantas untuk menyayangi seseorang sampai harus dipisahkan?

Apa seorang Bulan emang diharuskan untuk selalu hidup sendiri? Apa seorang Bulan nggak bisa menjaga mereka sampai harus dijauhkan?

Saya saat itu benar-benar kalut dan merasa tersesat, orang-orang yang berarti buat saya pergi dari sisi saya.

Bahkan saya juga sempat merasa kapok untuk menyayangi orang lagi karena saya tahu, cepat atau lambat mereka akan pergi dari kehidupan saya. Saya sempat merasa percuma menyayangi seseorang.

Hingga suatu saat saya kembali menyadari, bahwa memang akan banyak orang yang akan datang dan pergi di sebuah kehidupan.

Saya sadar tampaknya saya harus membiasakan diri dengan yang namanya kehilangan dan perpisahan. Saya harus membiasakan diri dengan yang namanya perasaan sakit ditinggal pergi dan jarang bertemu lagi.

Saya harus belajar dan berdamai dengan dua musuh terbesar saya ini.

Dan entah, sebentar lagi pun mungkin saya akan kembali merasakan yang namanya kehilangan dan perpisahan dengan orang yang berarti buat saya lagi. Mungkin dia akan menjadi orang keempat yang kehilangan dan perpisahannya nanti akan memengaruhi kehidupan saya.

Entah saya siap atau tidak untuk berpisah dan kehilangan dia, saya nggak tahu itu, yang jelas, untuk saat ini saya mencoba menikmati waktu yang tersisa dengannya meski benar-benar tinggal sedikit. Berharap nanti ada keajaiban dan perubahan yang membuatnya tetap bertahan di sini.

Entah bagaimana rasanya nanti jika dia benar-benar pergi dari kehidupan saya. Entah apa yang terjadi pada saya ketika saya tidak bisa melihat dan bertemu dengannya lagi. Entah apa yang akan saya lakukan nanti saat kami terpisah oleh jarak. Entah bagaimana status kita nanti di saat kami sudah nggak di satu kota lagi.

Yang jelas, saya akan tetap menyayangi dia sebagaimana selama ini kami masih bersama. Yang jelas, saya akan kembali harus belajar menikmati sakitnya kehilangan dan perpisahan. Yang jelas, saya bukan orang yang mudah melupakan sesuatu. Yang jelas saya juga bukan orang yang mudah menyerah pada hubungan apapun apalagi yang memiliki arti penting bagi saya. Yang jelas, orang itu akan tetap di hati saya selama-lamanya. Yang jelas, saya tidak akan pernah bisa terlihat baik-baik saja saat ditinggal pergi.

Yang jelas saya sedih.....

Pemilik semesta memang terkadang suka bergurau. Apalah saya ini hanya manusia yang mengikuti skenario-Nya yang banyak orang bilang itulah yang terbaik.

Saya nggak tahu apa yang akan terjadi esok, bahkan satu detik ke depan saya pun nggak tahu. Bahkan kalau boleh saya meminta, saya pengin waktu ini nggak cepat berlalu hingga waktu yang saya takutkan dan sedihkan itu datang.

Damn, saya amat sangat benci kehilangan dan perpisahan, Tuhan.
Haruskah saya merasakannya lagi? Kenapa?

Komentar

Postingan Populer